Jumat, 06 April 2018

Kecerdasan emosi anak dan kedekatan dengan orang tua. Hubungannya apa?

1 April 2018.
Adikku yang baru semester 2 kuliah sedang UTS. Sambil menemani dia belajar, aku tiduran di kasurnya. Daripada nggak ngapa-ngapain ya, aku pinjam lah salah satu buku kuliahnya adekku. Aku minta random aja, terserah mau diambilin apa. Lalu, diulungkan sebuah buku tebal 😅 judulnya "A Topical Approach to Life-Span Development" yang ditulis oleh John W. Santrock. Buku tentang perkembangan manusia, maklum adikku ini kuliah jurusan Psikologi.

Baiklah, looks interesting. Sebetulnya buku ini nggak terlalu asing buatku. Secara waktu kuliah juga pernah belajar perkembangan peserta didik. Nama Santrock pun sudah sering banget kubaca dulu. Jadi kurang lebih aku sudah tahu lah isinya. Bedanya, dulu belajar waktu kuliah tu sambil lalu, wkwkwk, cuma mempelajari yang buat bahan presentasi. Bab yang nggak dipresentasiin sendiri terus nggak dibaca, pilih baca hasil makalah yang udah rangkuman 😅😅

Lho ini malah cerita apa sih. Nggak nyambung sama judulnya. wkwkwk.

Lanjut, karena malam ini pengen random, aku pilih membaca Chapter 10, tentang Emotional Develompent and Attachment. Mengapa pilih membaca ini? Berbicara tentang emosi selalu menarik. Sering kali kita menganggap emosi adalah rasa kemarahan, namun sebetulnya, emosi adalah berbagai bentuk perasaan kita.  Manusia makhluk yang dinamis memiliki beragam emosi dalam dirinya, baik emosi positif maupun negatif, yang diekspresikan maupun dipendam.

Jika kita lihat, semakin dewasa seseorang, semakin emosinya sulit untuk dibaca. Why? Karena semakin bertambah usia, makan otak pun makin berkembang. Manusia jadi lebih memiliki kontrol terhadap emosi yang dirasakan. Dunia ini~~ panggung sandiwara~~ 😅😅

Sering aku lihat anak-anak jaman sekarang sangat ekspresif. Saking ekspresifnya, mereka ini kalau minta sesuatu nggak keturutan terus ngamuk-ngamuk sama orangtuanya atau nangis guling-guling depan kasir minta kinder*oy nggak dibeliin. Ehh 😅. Sebetulnya ini perilaku yang kurang baik. Kalau di buku dikatakan, orangtua yang biasa mengajari anak untuk mengatasi emosi berlebih, terutama emosi negatif, anak-anaknya ini akan memiliki permasalahan perilaku yang lebih sedikit dibandingkan orangtua yang mengatasi emosi negatif anak dengan cara mengubah emosi (nglimpekke kali ya), menolak, atau tidak memperhatikan. Ya pokoknya tidak menyelesaikan permasalahan. Jadi anaknya dibiarkan saja atau dialihkan perhatiannya. *pengalihan isuuu~

Nah, di buku ini, aku menemukan sebuah kalimat,
"Young children are more likely to openly discuss difficult emotional circumtances when they are securely attached to their mother and when their mother converses with them in a way that validates and accepts the child's view" (Walters & others, 2010)
"difficult emotional circumtances" di sini misalnya ketika anak mengalami depresi atau stres karena suatu hal, bisa juga ketika anak berperilaku buruk. Dua hal penting yang bisa ditangkap adalah 1) ibu (orangtua) harus bisa membuat anak merasa aman, 2) kalau orangtua punya pandangan yang berbeda atau tidak setuju dengan sikap anak, tetap, pendapat anak harus dihargai. Bukannya menyalah-nyalahkan atau memarahi. 👌👌

Ketika si anak merasa aman dan dekat dengan ibu, ya pastinya anak akan berani curhat kalau ada masalah. Kalau anaknya mau curhat, ibu jadi tahu kalau ada masalah dengan anaknya, jadi bisa membimbing anak untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan ibunya yang mengambil alih permasalahan anaknya lho yaa. Anak akan menjadi lebih memahami emosi yang dirasakan dan belajar untuk mengelolanya. Jika di rumah anak dilatih untuk dapat mengelola emosinya dengan baik, maka anak akan lebih mudah dalam membangun hubungan dengan orang lain di lingkungan sekitar.

Hmm... jadi begitu...